Senin, 27 Oktober 2008

MENDIDIK DENGAN CINTA…: Membentuk Generasi Rabbani Sejak Usia Dini

MENDIDIK DENGAN CINTA…: Membentuk Generasi Rabbani Sejak Usia Dini

By: RAUDHAH EL JANNAH RAHEEM, S.Pd.I

v Kapan pendidikan anak seharusnya dimulai?

Walaupun secara riil, pendidikan itu berlangsung dari lahir, namun konsep pendidikan anak dalam islam mengajarkan bahwa mempersiapkan anak yang sholih telah dimulai jauh sebelum terjadinya kelahiran anak yakni telah dimulai sejak pemilihan jodoh (pra konsepsi), ketika seorang pemuda memilih seorang calon istri dan calon ibu yang sholihah untuk anak-anaknya kelak. Rasulullah saw bersabda:

عن ابي هريرة رضي الله عنه قا ل: قا ل رسول ا لله صلي الله عليه و سلم:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

)رواه البخارى(

“Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: Orang perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena keelokan wajahnya, dan karena agamanya. Utamakanlah wanita yang memiliki pengetahuan agama yang baik, niscaya kamu menjadi orang yang beruntung.”(HR. Bukhori)

Kebanyakan para orang tua, khususnya masyarakat bawean, menganggap bahwa seorang anak kecil belum mengerti apa-apa, belum mengerti akan arti perintah dan larangan sehingga belum saatnya memperoleh pendidikan. Ini merupakan pandangan yang keliru. Sesungguhnya, proses pendidikan yang berkelanjutan telah dimulai sejak anak awal tahun kehidupan seorang anak dan berlangsung hingga akhir hayat (long life education). Bahkan pendidikan kepada anak telah dapat dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Karena ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa sejak masih berada dalam kandungan seorang anak telah dapat mendengar suara yang berasal dari luar dan merekam dengan baik apa yang di dengarnya itu, bahkan ia dapat mendengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dibarat telah membuktikan bahwa, seorang anak yang sejak masih dalam kandungan selalu diperdengarkan musik-musik klasik seperti karya Bethoven dan Mozart itu cenderung lebih cerdas dibandingkan dengan anak-anak yang sejak dalam kandungan tidak di perdengarkan musik-musik klasik, ini membuat para ahli berkesimpulan bahwa musik klasik dapat merangsang perkembangan system syaraf otak janin. Bayangkan bila sebagai seorang muslim, dan sebagai calon ayah dan ibu yang sholih kita selalu mengaji al-quran dan memperdengarkan lantunan ayat-ayat al-quran kepada anak kita sejak masih dalam kandungan? Tentu mereka akan menjadi anak yang sholih dan sholihah yang mempunyai kepribadian sesuai dengan pribadi muslim sejati. Bagaimana kalau sekarang anda mencobanya pada calon buah hati anda??

v Bagaimana mendidik anak sejak dalam kandungan??

Sebagaimana telah saya sebutkan di atas bahwa mendidik anak secara islami telah dapat dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Mungkin kita semua bertanya, bagaimana cara mendidiknya?? Tentu kita tidak dapat mendidiknya secara langsung, tetapi kita dapat melakukan hal-hal berikut ini:

ü Berdoa untuk anak kita

Dalam mendidik anak, manusia tidak cukup hanya dengan mengandalkan kekuatan akal dan jasmaninya. Bimbingan ilahiah sangatlah diperlukan. Karena itu untaian doa kepada dzat yang maha pencipta hendaklah selalu teriring dalam mendidik anak kita. Mohonlah kepada Allah sang Maha pengasih agar di karunia anak yang sholih dan sholihah yang akan menjadi mujahid-mujahid dan jundi-jundi Allah dalam menegakkan syari’at islam di muka bumi ini. Karena sebagaimana sabda rasulullah, bahwa di zaman yang semakin mendekati akhir ini, menggenggam agama Allah bagaikan menggenggam bara, maksudnya, dalam menegakkan syari’at dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini sangat berat godaannya, apalagi dengan masyarakat seperti sekarang ini, menjaga iffah dan izzah dalam beragama kita seperti dianggap orang aneh oleh masyarakat.

ü Selalu memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci al-quran

Alangkah baiknya kita sebagai seorang calon ayah dan ibu selalu membaca al-quran di setiap kesempatan, ataupun bila kita memiliki sedikit waktu luang, sempatkanlah membaca al-quran setiap kali selesai sholat fardlu atau sholat sunnah, sedang di sela-selanya kita dapat memperdengarkan bacaan al-quran murottal melalui kaset, CD, Ipod, ataupun media lainnya. Sekarang ini banyak tersedia kaset-kaset murottal di toko-toko kaset ataupun toko buku dan banyak tersedia media yang memudahkan mendengarkan lagu atau ayat al-quran sambil beraktivitas baik melalui MP3, MP4, Ipod atau media lainnya.

ü Mendengarkan lagu-lagu nasyid atau musik klasik

Selain memperdengarkan ayat suci al-quran, tidak ada salahnya sekali-kali anda memperdengarkan lagu-lagu nasyid ataupun musik klasik kepada calon buah hati anda, dari pada anda memperdengarkan lagu-lagu cinta yang sifatnya hanya memuja cinta sebatas pada struktur nafsani semata, tanpa unsur ilahiah. Apalagi lagu-lagu cinta saat ini semakin tak karuan syairnya. Lelaki buaya darat lah, makhluk Tuhan paling seksi lah, jadikan yang kedua lah, lelaki cadangan dan segala syair lagu memiriskan lainnya.

ü Ajak calon buah hati berkomunikasi

Mungkin agak sedikit aneh kedengarannya, tapi sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas, janin didalam kandungan telah terbentuk dan berfungsi dengan baik pendengarannya sejak memasuki usia bulan ke empat, sehingga dia dapat mendengar dengan baik detak jantung ibunya ataupun suara-suara yang berasal dari luar, seperti suara pintu yang ditutup dengan keras. Anda dapat mengajak calon buah hati berkomunikasi, dengan menceritakan pengalaman anda hari ini, atau menceritakan perasaan anda saat ini. Juga dapat dengan membacakan buku-buku cerita, yah, memang kita jadi seperti berbicara sendiri, tapi yakinlah bahwa buah hati anda mendengarnya. Memang, dia tidak dapat memberi respon secara langsung, tapi segala yang didengarnya akan tersimpan dengan baik di memori otaknya. Dan akan lebih mudah baginya memunculkan memori itu ketika suatu hari nanti dia mengalami atau mendengar hal yang sama.

v Kewajiban siapakah mendidik anak itu?

Anak adalah amanah Allah untuk kedua orang tua, karena itu, mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua. Pendidikan anak menjadi tanggung jawab bersama antara sang ayah dengan sang ibu. Akan tetapi karena kesibukan seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga dan kewajibannya memberi nafkah keluarga, menyebabkan kesempatan ayah untuk bersama dan berkumpul dengan keluarga terutama dengan buah hatinya menjadi berkurang. Sehingga anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang ibu. Akan tetapi ini tidak menyebabkan kewajiban ayah dalam mendidik anak menjadi hilang, ayah tetap memiliki kewajiban yang sama dengan ibu dalam mendidik dan membesarkan putera-puterinya dengan bekal pendidikan agama yang kokoh sejak usia dini agar anak memiliki jiwa keagamaan yang kokoh yang tidak mudah terkikis oleh pengaruh yang datang dari luar ketika anak hidup di tengah-tengah anggota masyarakat. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون ( التحر يم :٦ )

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan–Nya kepada meraka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Al-Tahrim/66: 6).

v Bagaimana seharusnya mendidik anak kita??

Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak kita agar menjadi anak-anak yang sholih-sholihah, berguna bagi nusa dan bangsa dan agama. Tentu semua orang tua mengharapkan memiliki anak yang sholih dan sholihah, berguna bagi nusa, bangsa dan juga agama. Akan tetapi, sedikit sekali orang tua yang mengerti apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara mewujudkan harapannya itu? Ada beberapa hal yang harus di perhatikan oleh kedua orang tua, baik ayah maupun ibu dalam mendidik putera-puterinya:

Ø 1. Harus seiring sejalan (kompak) dalam mendidik anak.

Demi keberhasilan dalam mendidik anak dan menanamkan kepribadian positif dalam diri anak, kedua orang tua harus kompak dan seiring sejalan seiya sekata dalam mendidik anak. Kekompakan yang dimaksud disini adalah, bahwa dalam menetapkan sesuatu terhadap anak, semacam peraturan, memberi perintah atau larangan kedua orang tua harus sepakat dan saling mendukung. Sehingga tidak menimbulkan sikap ambigu pada diri anak. Seringkali kita dapati kedua orang tua saling bertolak belakang dalam mendidik anak. Contohnya adalah dalam hal mengajarkan kedisiplinan pada anak. Ketika ayah berusaha menerapkan disiplin anak dalam hal sholat lima waktu dan belajar setelah sholat isya’ misalnya, ibu harus sepenuhnya mendukung usaha ayah, jangan sampai ketika ayah menyuruh anaknya yang sedang bermain untuk sholat dhuhur, ibu membela anak dan mengatakan “ biarkan saja dulu yah, mungkin adik masih capek”. Ini dapat menimbulkan sikap ambiguitas dan membuat anak mencari perlindungan ke ibu ketika dia sedang malas belajar atau sholat serta membuat anak tidak menghargai (meremehkan) perintah/ kata-kata ayahnya atau sebaliknya, bila ayah yang selalu membela tindakan salah anak, anak akan berlindung meminta dukungan sang ayah dan meremehkan perintah sang bunda.

Ø 2. Menanamkan kebiasaan baik pada anak

Anak-anak di bentuk dengan kebiasaan. kebiasaan apapun yang kita terapkan pada anak kita, akan menjadi suatu kepribadian dalam diri anak yang terbentuk tanpa kita sadari. Dan menghilangkan kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Karena itu akan menjadi perilaku bawah sadar yang akan mendorong perbuatan tersebut dilakukan dengan sendirinya. Karena itu, alangkah baiknya jika sebagai orang tua, sedini mungkin kita menerapkan kebiasaan-kebiasaan positif pada anak kita. Seperti sholat di awal waktu, menyikat gigi sebelum tidur, berdoa sebelum dan sesudah makan, dan kebiasaan baik lainnya. Karena kebiasaan baik itu akan dengan sendirinya menjadi perilaku yang menetap dalam diri mereka dan menjadi perilaku bawah sadar yang membuat mereka selalu terdorong untuk melakukannya walau tanpa perintah. Sebagaimana ungkapan yang mengatakan, “ pada mulanya, kita yang membentuk kebiasaan, setelah itu, kebiasaanlah yang akan membentuk kita.” (to be continued)



Sabtu, 25 Oktober 2008

BAHASA KALBU

Tuhan………………….

Jika aku menyukai seorang teman,

Ingatkanlah aku bahwa ada sebuah akhir,

Agar aku tetap bersama-Mu yang tak pernah berakhir…

Tuhan……………………..

Jika aku merindukan seorang kekasih,

Rindukanlah aku kepada yang rindu cinta sejati Mu,

Agar kerinduanku terhadap-Mu semakin menjadi…..

Tuhan…………………….

Jika aku hendak mencintai seseorang,

Temukanlah aku dengan orang yang mencintai-Mu,

Agar bertambah kuat cintaku pada-Mu….

Tuhan…………………….

Ketika aku sedang jatuh cinta,

Jagalah cintaku itu,

Agar tidak melebihi cintaku pada-Mu….

Tuhan…………………………………….

Ketika aku berucap aku cinta padamu,

Biarlah ku katakan kepada yang hatinya terpaut pada-Mu…

Agar aku tak jatuh dalam cinta yang bukan karena-Mu…

Sebagaimana orang bijak berucap………

Mencintai seseorang bukanlah apa-apa,

Dicintai seseorang adalah sesuatu,

Dicintai oleh orang yang kau cintai sangatlah berarti,

Tapi……..

Dicintai oleh sang pencipta adalah segalanya…….

Senin, 20 Oktober 2008

BAWEAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN (1)

By: Raudhah El Jannah Raheem Ulhaque S.Pd.I

Bawean Dan Problematika Pendidikan Anak Dalam Keluarga

Pendidikan merupakan pintu gerbang menuju kemajuan dalam pembangunan di segala bidang kehidupan, baik menyangkut pembangunan kehidupan fisik maupun non fisik. Karena itu, apabila kita mengharapkan adanya kemajuan dan pencerahan pemikiran (rausyan al fikr) bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, maka sebagai langkah awalnya adalah kita harus mengadakan perbaikan system pendidikan agar system pendidikan kita dapat mencetak output-output yang siap menghadapi tantangan dunia global dengan segala dampaknya dan juga siap melakukan perubahan menuju masyarakat yang tercerahkan.

Bawean, sebagai pulau terpencil yang berjarak sekitar 80 mil di sebelah utara pulau Jawa, merupakan pulau yang memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM) yang patut di perhitungkan, akan tetapi karena adanya berbagai masalah seperti kurangnya sarana dan prasarana, serta terbatasnya lapangan kerja, dan berbagai masalah lain yang di hadapi Bawean sebagai pulau terpencil, menyebabkan berbagai potensi yang di miliki pulau Bawean tidak ter explore dan hanya terpendam begitu saja tanpa muncul kepermukaan. Hal ini sangat disayangkan, karena kita tidak pernah tau seberapa besar potensi pulau Bawean itu seandainya teraktualisasi.

Salah satu problematika pulau bawean adalah problematika dunia pendidikan. Dan problem pendidikan di pulau bawean yang sangat memprihatinkan adalah masalah pendidikan anak, terutama pendidikan anak dalam keluarga. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar penduduk pulau bawean adalah perantau. Mereka meninggalkan keluarga untuk bekerja di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Umumnya yang kita dapati, para orang tua meninggalkan anak-anak mereka untuk di asuh oleh nenek-kakek mereka ataupun keluarga terdekat, atau kalau hanya ayahnya yang pergi merantau, maka anak itu akan di asuh seorang diri oleh sang ibu. Hal ini menyebabkan disfungsi dalam keluarga. Karena anak tidak memperoleh gambaran lengkap tentang sosok orang tuanya. Tentu hal ini menyebabkan gangguan psikologis dan menghambat pembentukan kepribadian anak.

Keluarga, memiliki nilai penting dalam pembentukan kepribadian anak dan dalam menciptakan kondisi psikologis ( kejiwaan )yang sehat bagi anak. Karena keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang di butuhkan oleh putra-putri yang tengah mencari makna kehidupannya. Di tengah-tengah keluarga lah seorang anak banyak menghabiskan sebagian besar waktunya selain di sekolah atau di luar rumah. Keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya dan mediator sosial budaya bagi anak. Menurut UU No.2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4:”…keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan…”. Berdasarkan pendapat dan dictum Undang-Undang tersebut, maka fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan, atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Ketika fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka sangat sulit bagi seorang anak untuk dapat berhasil dalam mengolah seluruh bakat dan kemampuannya agar terasah dan terbina sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk pertama kalinya pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak langsung akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat besok kelak untuk mengarungi kehidupan yang lebih global bila dibandingkan waktu awal ada di dalam kandungan yang hidup dalam lingkungan yang sempit.

Akan halnya di bawean, pendidikan anak dalam keluarga kurang mendapat perhatian dari para orang tua. Hal ini di sebabkan karena kebanyakan keluarga di Bawean tidak menjalankan fungsinya secara normal, sehingga anak-anak mengalami ambiguitas dalam menanamkan citra orang tua dalam benak mereka. Padahal, peranan orang tua dalam pembentukan kepribadian anak sangat penting. Mengingat, dari orang tualah untuk pertama kalinya seorang anak belajar bagaimana bertingkah laku. Problematika ini terjadi di karenakan kurangnya pengetahuan para orang tua tentang bagaimana teori yang baik tentang pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga. Baik cara pengasuhan dan pendidikan anak menurut agama, ilmu psikologi, maupun menurut teori-teori pendidikan dari para ahli di bidangnya.

Sesungguhnya, mayoritas masyarakat bawean mendidik anak dengan mengandalkan pengalaman tanpa di dasari teori yang mendukung. Sehingga kita seringkali mendapati bahwa masih banyak orang tua masih menggunakan hukuman dalam bentuk kekerasan dalam mendidik anak. Seperti memukul, memarahi dengan suara keras (membentak), berkata kasar pada anak dan juga mengancam. Padahal, menurut ilmu psikologi, menghukum dengan kekerasan tidak membuat anak jera, dan mengerti dimana letak kesalahannya, bahkan sebaliknya, kekerasan membuat anak menjadi pribadi pendendam, merasa tidak dihargai, dan muncul ketidakpuasan dalam dirinya akibat perlakuan kasar orang tua terhadapnya. Hal ini membuat anak tumbuh dengan tekanan psikologis dan membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang menyimpang. Juga penyampaian ungkapan rasa kasih sayang orang tua yang seringkali caranya kurang tepat. Seperti terlalu memanjakan anak dengan menuruti segala kemauan anak. Menurut hemat saya, dengan pengalaman saja tidak cukup bijak dalam mendidik anak. Karena anak kita bukanlah robot yang bisa kita control semau kita, dan selalu menuruti kemauan kita sebagai orang tua. Anak-anak adalah pribadi bebas yang memiliki dunianya sendiri, mereka juga memiliki keinginan, kehendak, pendapat, kemauan dan alasan terhadap apa yang mereka lakukan yang juga perlu kita dengarkan. Mereka juga butuh penghargaan, butuh di hargai, diakui dan juga punya harga diri.

Sebagaimana apa yang di ucapkan oleh seorang kahlil gibran, seorang penyair ternama sepanjang masa bahwa “anak-anak kita bukanlah putera-puteri kita, mereka putera dan puteri kehidupan, kita mungkin bisa memberi rumah pada tubuh mereka, tapi tidak pada jiwa mereka. Karena jiwa mereka hidup di rumah tersendiri, yang tidak bisa kita kunjungi, bahkan juga di dalam mimpi…”

Anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Anak adalah tanggung jawab orang tua. Bagaimana dan akan seperti apa anak kita nantinya bergantung bagaimana kita orang tua mendidiknya. Karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Nabi saw.:

عن ابي هريرة رضي الله عنه قا ل: قا ل رسول ا لله صلي الله عليه و سلم:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ َ )رواه البخارى(

“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya dan kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia sebagai yahudi, nasrani atau majusi.”(HR. Bukhori)

Dalam ilmu pendidikan, makna kata fitrah dalam hadis diatas tidak lain adalah bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi masing-masing. Baik itu potensi beragama (religion), potensi kecerdasan (intellectual), potensi keterampilan (skill) ataupun potensi lain yang dimiliki anak. Akan tetapi potensi tersebut masih terpendam. Belum teraktualisasi. Tugas orang tualah untuk membimbing dan mengarahkan anak agar dapat mengaktualkan potensi yang dimilikinya secara tepat. Untuk potensi beragama misalnya, orang tua perlu mengetahui bahwa setiap anak secara fitrah memiliki naluri untuk beragama dan kebutuhan terhadap agama. Anak-anak memiliki kecenderungan terhadap hal-hal yang baik sebelum lingkungannya mempengaruhinya untuk melakukan hal-hal yang buruk. Karena kebaikan itu sesuai dengan fitrahnya. Sehingga orang tua memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa pendidikan agama sebagai dasar pendidikan anak dalam hidupnya perlu di ajarkan dan di tanamkan pada anak sedini mungkin, bukan menunggu sampai anak memasuki usia sekolah.

Apabila memperhatikan mayoritas anak-anak bawean yang sedang dalam masa perkembangan dan pembentukan kepribadian tetapi tidak memperoleh pengarahan dan bimbingan yang tepat dari orang tuanya, membuat saya merasa miris dan berpikir, akan seperti apa nantinya anak-anak yang memiliki potensi dan juga kecerdasan yang masih terpendam itu??

Minggu, 12 Oktober 2008

ELEGI RUU PORNOGRAFI: Antara Moral dan Benturan Kepentingan

By: Raudhah El Jannah Raheem S.Pd.I

Berlarut-larutnya penundaan pengesahan RUU pornografi yang dahulu di sebut RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi) mengecewakan masyarakat yang mempunyai niat baik demi kepentingan bangsa dan juga membahagiakan sebagian orang yang memiliki kepentingan pribadi terhadap di batalkannya RUU tersebut. RUU yang semula di rencanakan selesai di bahas pada 23 september lalu, mengalami penundaan hingga waktu yang tidak di tentukan, walaupun mereka para pansus dan panja di DPR RI yang membahas RUU tersebut mengatakan akan merampungkannya pada 14 November mendatang. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin RUU tersebut akan selesai tepat pada 14 November mendatang? Karena pengalaman membuktikan bahwa para wakil rakyat tersebut tidak dapat mengambil keputusan dikarenakan banyaknya benturan kepentingan yang membuat mereka tidak berani mengambil keputusan tegas terhadap RUU yang saat itu masih bernama RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi), hingga kini setelah melewati waktu yang cukup panjang, bahkan hingga RUU tersebut berganti nama menjadi RUU pornografi (RUUP) pun, para wakil rakyat itu tetap belum juga memberi kepastian kapan RUU tersebut akan di sahkan menjadi UU.

Mereka menunda pengesahan RUU pornografi dengan alasan masih banyaknya pihak yang pro dan kontra terhadap pasal-pasal krusial yang terdapat dalam RUU tersebut. Padahal sesungguhnya, pro kontra dalam penetapan suatu hukum dan UU adalah hal yang wajar, karena setiap orang memiliki pendapat dan kepentingan masing-masing dan juga mengeluarkan pendapat selama tidak dilakukan dengan cara yang melanggar hukum adalah hak setiap warga Negara yang hidup di Negara demokrasi ini, akan tetapi, seyogyanya pemerintah lebih memperhatikan kemaslahatan umum dan terpeliharanya moralitas Bangsa, bukankah kenaikan BBM juga mengundang pro dan kontra serta reaksi keras dari masyarakat?? Tetapi kenapa pemerintah dapat dengan tegas bahkan tanpa memperhatikan pendapat masyarakat lagi memutuskan hal itu.

Apabila kita perhatikan, sesungguhnya penolakan terhadap RUU pornografi datang dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan pornografi itu sendiri baik itu sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi, sutradara dan produser pembuat film yang menjual kedua hal tersebut yang hanya memperhitungkan budget dan tak lagi peduli terhadap idealisme, para pemilik dan penerbit majalah ataupun VCD porno, para pemasar (distributor) ataupun para penikmat (konsumen) pornografi dan pornoaksi itu sendiri, juga para gay dan lesbi yang terkait dengan salah satu pasal dalam RUU pornografi, ataupun daerah yang merasa eksistensinya terancam dengan disahkannya RUU tersebut. Sedangkan dorongan untuk segera disahkannya RUU pornografi datang dari elemen masyarakat yang peduli dengan moralitas bangsa dan telah merasa gerah dengan dampak negatif dari semakin maraknya pornografi dan pornoaksi yang dapat mengancam generasi penerus bangsa ini, seperti KAMMI, PAMMI, NU, dan lain sebagainya.

Bali dan Papua, adalah dua daerah yang dengan keras menolak disahkannya RUU pornografi. Mereka beralasan bahwa disahkannya RUU pornografi (RUUP) dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia yang majemuk ini. Sebenarnya, apabila kita telaah dengan baik, penolakan masyarakat Bali terhadap RUU pornografi lebih dikarenakan faktor ekonomi (motif bisnis), dimana RUU pornografi menurut pandangan mereka dapat mengancam sumber mata pencaharian mereka. Sebagaimana kita ketahui, Bali sebagai daerah tujuan wisata baik turis lokal maupun mancanegara, memang sangat dekat dengan praktek pornografi dan pornoaksi. Serta ada sebagian tradisi dan kebudayaan mereka yang mereka anggap terancam dengan adanya RUUP tersebut. Begitu halnya dengan masyarakat Papua, mereka menganggap bahwa disahkannya RUUP ini akan mengancam keberadaan pakaian adat mereka. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Papua, memakai pakaian adat yang di sebut koteka, yaitu pakaian yang terbuat dari dedaunan dan akar-akar pohon yang hanya menutupi bagian vital mereka.

Sesungguhnya, penolakan masyarakat terhadap RUUP ini lebih dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap RUUP tersebut, sehingga masyarakat tidak banyak mengetahui isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP tersebut. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menolak RUU tersebut karena menganggap bahwa RUUP ini dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) bangsa, serta mengancam kelangsungan tradisi dan budaya masyarakat di beberapa daerah. Ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP ini. Seharusnya, apabila pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan koordinasi dengan tokoh agama serta para kepala adat di berbagai daerah, tentu penolakan tersebut tidak sampai terjadi seperti ini. Karena masyarakat akan mengetahui bahwa tentang tradisi, kebudayaan ataupun yang berhubungan dengan kesenian masyarakat di atur dalam pasal khusus (pasal 14) dalam RUUP ini, sehingga mereka tidak perlu takut akan adanya RUUP ini.

Penolakan terhadap RUUP ini juga datang dari kalangan aktifis perempuan dan anak yang menganggap bahwa RUUP ini melanggar HAM karena memasung kebebasan berekspresi dan juga kreatifitas perempuan dan anak. Alasan mereka sungguh tidak dapat dibenarkan, karena dengan demikian, mereka menjadikan perempuan dan anak sebagai komoditi terbesar dalam lingkaran setan pornografi dan pornoaksi. Apakah kreatifitas dan kebebasan berekspresi harus dengan menonjolkan sensualitas dan mengedepankan seksualitas? Tentu tidak. Seseorang tetap bisa berekspresi dan berkreatifitas tanpa harus mengobral anggota tubuhnya apalagi sampai menjual dirinya. Sesungguhnya, adanya RUUP ini justeru melindungi kehormatan wanita dan anak-anak yang seringkali menjadi korban dari dampak negatif pornografi dan pornoaksi, sebagaimana kita ketahui, disadari atau tidak, bahwa wanitalah yang seringkali menjadi bahan ekspoitasi seksual. Baik itu melalui media cetak, ataupun media elektronik seperti iklan-iklan produk yang menjual sensualitas tubuh wanita walaupun terkadang iklan itu tidak ada hubungannya dengan wanita.

Memang, kebutuhan seksual dan pemenuhannya adalah sesuatu yang asasi bagi setiap manusia normal. Akan tetapi, bukan lantas hal itu menjadikan seseorang di benarkan untuk memuaskan nafsu seksual semaunya sampai tak lagi memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Karena semua telah di atur dengan baik dalam hukum agama maupun hukum Negara. Demikian juga dengan penampilan dan kebebasan berekspresi, itu juga merupakan hak asasi setiap orang. Tetapi, tentu kita semua tahu bahwa hak harus di sertai dengan di tunaikannya kewajiban. Dengan begitu, akan tercipta tatanan sosial yang seimbang dalam masyarakat dan tidak akan terjadi ketimpangan sosial.

Walau bagaimanapun, RUU pornografi bukan hal yang negatif, RUUP ini tetap di butuhkan demi menjaga moralitas bangsa dengan adat ketimuran seperti Indonesia ini, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Meningkatnya kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan anak di bawah umur, kehamilan di luar nikah dan seks bebas merupakan dampak negatif dari maraknya pornografi dan pornoaksi yang semakin tak terkendali. Sebagai anggota masyarakat yang memiliki hati nurani, kita tidak bisa berpangku tangan menghadapi persoalan tersebut. Tentu harus ada tindakan nyata dan usaha bersama dari semua elemen masyarakat maupun pemerintah, untuk dapat menyelamatkan moral generasi bangsa. Karena di tangan generasi penerus bangsa lah masa depan bangsa ini di tentukan. (Bawean, 03 Oktober 2008)

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008