Senin, 22 Desember 2008

P.P.S.I. DALAM PENDIDIKAN AGAMA

  1. Pengertian

Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (P.P.S.I.) ialah suatu bentuk pengajaran yang didasarkan kepada system, yaitu suatu kesatuan yang terorganisir, yang terdiri dari sejumlah komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Adapun sejumlah komponen yang harus ada dalam system instruksional tersebut antara lain: materi pelajaran, metode mengajar, alat/sumber, evaluasi dan lain-lain yang semuanya saling berinteraksi guna mencapai tujuan instruksional yang telah dirumuskan terlebih dahulu.

B. Langkah- Langkah Pokok Dalam P.P.S.I.

  1. Merumuskan tujuan Instruksional
  2. Menetapkan materi/ bahan pelajaran
  3. Menetapkan kegiatan belajar mengajar
  4. Menetapkan alat pengajaran
  5. Menetapkan alat evaluasi

a. Merumuskan tujuan Instruksional

Tujuan Instruksional tersebut ada 2 macam:

  1. Tujuan instruksional umum: adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam kurikulum
  2. Tujuan Instruksional khusus: adalah hasil perumusan dari guru sendiri, sebagai penjabaran daripada TIU

Adapun istilah-istilah yang tepat dipakai dalam merumuskan TIK antara lain:

- melakukan - menyebutkan

- membedakan - menjelaskan

- memilih - mendemonstrasikan

- menuliskan -menyusun

b. Menetapkan bahan materi pelajaran

Setelah diketahui TIU yang akan dicapai, kemudian dirumuskan TIK, maka dapat ditetapkan pula bahan pelajaran yang akan disajikan kepada murid. Bahan pelajaran tersebut harus sesuai dan tidak boleh menyimpang dari tujuan instruksional yang sudah dirumuskan.

c. Menetapkan kegiatan belajar-mengajar

Hal ini menggambarkan pokok-pokok kegiatan yang akan dilakukan oleh guru dan murid selama proses pelajaran itu berlangsung, sesuai dengan bahan pelajaran yang diberikan.

d. Menentukan Alat pelajaran dan sumber bahan

Menetapkan dan menyiapkan alat-alat pelajaran yang akan digunakan selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, misalnya: gambar, bagan dan lain lainnya. Disamping itu juga menyebutkan sumber bahan atau kepustakaan yang dipergunakan dalam pengajaran itu, untuk menunjang tercapainya TIK.

e. Menetapkan alat evaluasi

Menentukan alat evaluasi yang akan di pergunakan untuk mengadakan evaluasi (pre test, post test, atau jenis test, lisan, tulis, perbuatan dan lain-lain).

Senin, 15 Desember 2008

global warming effect

RAUDHAH EL JANNAH RAHEEM

Dunia saat ini tengah berada di ambang kehancuran. Kehancuran yang berlangsung secara perlahan namun pasti ini diakibatkan oleh dampak pemanasan global. Pemanasan global bisa di akibatkan oleh banyak faktor, diantaranya: penggunaan bahan elektronik seperti kulkas, pengering rambut, atau bahkan hair spray yang mengandung cfc (cloro fluoro carbon), yaitu gas yang bias merusak lapisan ozon di atmosfer yang melindungi bumi dari pengaruh buruk sinar ultraviolet dari matahari, pemakaian bahan bakar kendaraan secara berlebihan, penebangan hutan secara besar-besaran, efek rumah kaca dan lain sebagainya. Lapisan ozon ini berfungsi menyaring sinar ultraviolet dari matahari .Rusaknya lapisan ozon dapat menyebabkan perubahan iklim global dan juga pemanasan suhu secara global. Pemanasan global ini mengakibatkan suhu bumi meningkat tajam sehingga menyebabkan gunung es di kutub utara mencair, yang menyebabkan semakin tingginya permukaan air laut di seluruh dunia, semakin tingginya permukaan air laut menyebabkan abrasi pantai yang parah dan menyebabkan hilangnya sebagian bahkan menenggelamkan seluruh daratan bumi. Inilah dampak paling mengerikan dari pemanasan global.

Saat seluruh dunia berusaha untuk mengurangi dampak pemanasan global, kita dapat ikut berpartisipasi melalui hal-hal kecil yang sangat bermanfaat bagi bumi ini yang mungkin bisa kita lakukan. Kita dapat mengurangi dampak pemanasan global dengan menggunakan peralatan elektronik yang bebas cfc, mengurangi emisi gas carbon dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, mengurangi efek rumah kaca dengan penghijauan dan hal kecil lain yang sangat mudah namun bermanfaat. Bumi adalah milik kita bersama, karena itu, tugas kitalah menjaga kelestarian bumi kita, demi kelangsungan hidup kita, dan semua makhluk yang menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman.

Kamis, 04 Desember 2008

PERANAN UMAT ISLAM INDONESIA

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Rabu, 03 Desember 2008

PERANAN WANITA DALAM MASYARAKAT

By: Raudhah El Jannah Ulhaque S.Pd.I

Pada zaman sekarang ini, kalau kita amati, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, hampir tidak ada lagi pekerjaan pria yang tidak bisa dikerjakan oleh wanita. Kalau zaman dahulu beberapa pekerjaan dianggap tabu untuk dikerjakan oleh wanita karena alasan lemah fisik dan mental dan dinilai tidak sesuai atau menyalahi kodratnya, pada zaman sekarang ini, anggapan tersebut tidak berlaku lagi karena ternyata sekarang wanita mampu mengerjakannya sebaik kaum pria.

Di Negara seperti Indonesia ini, yang mana ± 53 % penduduknya adalah wanita, potensi wanita sebagai salah satu unsur penunjang pembangunan nasional tidak disangsikan lagi. Karena itu, apabila potensi yang besar ini tidak di dorong dan dimanfaatkan dengan baik dalam pembangunan nasional, maka bangsa dan Negara akan mengalami kelambanan dan kemunduran di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, peran dan keterlibatan wanita dalam segala bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan di luar rumah, seringkali masih mendapat banyak mendapat hambatan dan tantangan dari berbagai pihak baik dengan dalih agama dari golongan konservatif, maupun dari factor budaya masyarakat sendiri. Menurut golongan kaum konservatif, peran wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami, tidak boleh terjun di dunia politik apalagi menjadi hakim dan Top Leader (kepala Negara atau Perdana Menteri), karena hal itu adalah tugas kaum laki-laki.

Pandangan ini bertentangan dengan ajaran islam, karena islam sendiri tidak menghalangi wanita untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru/dosen, dokter, pengusaha, menteri, hakim dan lain-lain, bahkan bila ia mampu dan sanggup, boleh menjadi perdana menteri atau kepala Negara, asal dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh islam. Misalnya, tidak terbengkalai urusan dan tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya bila ia seorang yang telah bersuami dan juga tidak mendatangkan hal yang negative terhadap diri dan agamanya.

Akan tetapi dalam hal tentang boleh tidaknya wanita menjadi hakim dan kepala Negara (top leader), para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader berdasarkan ayat Al-qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 dan hadis Abi Bakrah yang di riwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i, dan Turmudzi bahwa Rasulullah saw bersabda:

Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita.[1]

Dan surat an-nisa’ ayat 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ﴿٣٤﴾

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S.An-Nisa’/4:34)

Menurut Jawad Mughniyah dalam Tafsir Al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34 surah an-Nisa’ itu bukanlah menciptakan perbedaan yang dianggap wanita itu rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi keduanya adalah sama, dengan alasan ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai isteri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satupun bisa hidup tanpa yang lain.bagaikan dua sisi mata uang, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami saja, memimpin isterinya. Bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang dictator.[2]

Kebolehan wanita untuk menjadi top leader ini ditopang oleh Al-qur’an surah at-Taubah ayat 71:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ﴿٧١﴾

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.”

Dalam ayat tersebut, Allah swt mempergunakan kata auliya’ (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak pria saja, tetapi keduanya (pria dan wanita) secara bersamaan. Berdasarkan ini, wanita juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi criteria sebagai seorang yang akan menjadi pimpinan tertinggi, karena menurut tafsir al-maraghi dan tafsir al-manar bahwa kata auliya’ tersebut dengan tafsiran yang mencakup: wali penolong, wali kasih sayang.

Selanjutnya mengenai hadis abi bakrah yang mengatakan tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pimpinan mereka seorang wanita, menurut fatimah mernissi dalam bukunya setara dihadapan Allah, perlu dipertanyakan: apa yang mendorong abi bakrah berpuluh-puluh tahun setelah kalimat itu diucapkan nabi saw, untuk menggali kembali hadis ini dari relung ingatannya? Apakah ia mempunyai kepentingan pribadi yang harus dikemukakan atau semata-mata sebagai kenangan spiritual terhadap Nabi? Jelas Abi Bakrah mempergunakan hadis ini untuk mencari muka pada pihak yang berkuasa. Selanjutnya marilah kita teliti lebih dalam lagi sejarah perang unta yang menjadikan sikap opurtunis Abi Bakrah ini lebih nyata lagi. Pada waktu itu banyak sahabat yang tidak ikut serta dalam peperangan antara Ali Bin Abi Thalib dengan ummul mukminin Aisyah. Alasannya adalah bahwa perang saudara hanya akan memecah belah umat dan menjadikan mereka saling bermusuhan. Meskipun mereka sama-sama mempertahankan diri di atas prinsip yang diajarkan nabi Muhammad saw. Untuk tidak ikut serta dalam suatu pertikaian yang menyebabkan perpecahan di antara kelompok masyarakat, hanya Abi Bakrah yang menjadikan jenis kelamin sebagai salah satu alasan penolakannya untuk tidak ikut serta dalam peperangan tersebut. Sesudah kalahnya Aisyah.

Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa hadis Abi Bakrah tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara islam (khalifah) hakim. Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader (presiden dan perdana menteri). Menurut jumhur ulama’ tidak boleh wanita menduduki jabatan tersebut. Abu hanifah membolehkan hakim wanita dalam masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat. Sementara Muhammad bin jarir al-thabary membolehkan wanita menjadi hakim secara mutlak termasuk dalam urusan jinayat. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm dari aliran al-Zhahiriyah.



[1] Al-suyuthi, Al-Jami’ Al-Shaghir, jilid II, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th., cet.IV, h.128.

[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir Al-Kasyif, juz II, Bairut, Dar Ilmi Li Al-Malayin, cet.I, 1968, masyarakat, h. 314

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008