Senin, 23 Februari 2009

PENDIDIK, TANGGUNG JAWAB DAN PROFESIONALISME DALAM MENDIDIK: Sebuah Dilema Pendidik Masa Kini

Oleh

Raudlah el Jannah Raheem Ulhaque S.Pd.I

Guru, sebagaimana pameo lama, adalah sosok yang di gugu dan di tiru, guru adalah sebagai orang tua kedua bagi anak didiknya. Karena itu, sebelum memberikan ilmunya, yang pertama harus dilakukan oleh guru adalah menganggap anak didiknya sebagai anak sendiri. Agar timbul rasa belas kasih dan kasih sayang yang tulus dalam mengajar, sehingga guru ikhlas dalam mengajarkan ilmunya karena tanggung jawab dan perhatian, bukan hanya karena materi dan mengharap imbalan.
Sebagai seorang pendidik, guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hasil didikannya. Kita semua tahu bahwa para orang tua menitipkan dan mempercayakan anaknya pada lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren (formal dan informal) adalah agar sang anak menjadi pribadi yang bukan hanya pandai dari segi intelektual, melainkan juga cerdas secara moral dan spriritual alias menjadi orang yang pintar, baik dan berbudi. Tentu sebagai tenaga pendidik, guru seharusnya memiliki kemampuan untuk itu, yang dilakukan dengan cara professional sesuai dengan kaidah paedagogie atau kaidah didaktik.
Dalam dunia didaktik atau pendidikan, sebagian para ahli pendidikan membedakan antara pendidikan dan pengajaran, meskipun keduanya sangat sulit dipisahkan, akan tetapi, memang terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara makna kedua istilah tersebut. Pengajaran, menurut kamus besar bahasa Indonesia (1991) berasal dari kata “ajar”, artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut. Kata “mengajar” berarti memberi pelajaran. Berdasarkan arti-arti ini, kemudian kamus besar bahasa Indonesia itu mengartikan pengajaran sebagai “Proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan. Berdasarkan pengertian ini, pengajaran adalah kegiatan menyampaikan materi pelajaran kepada siswa agar ia menerima dan menguasai materi pelajaran tersebut, atau dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki ilmu pengetahuan.
Sedangkan pendidikan, dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili atau mencerminkan segala segi), pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.
Sebagian orang memahami arti pendidikan sebagai pengajaran, karena pendidikan pada umumnya selalu membutuhkan pengajaran. Pemahaman ini memang tidak sepenuhnya salah, karena pengajaran boleh jadi tidak sama persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti diantara keduanya terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya perbedaan yang mencolok. Pendidikan juga boleh dipandang lebih utama daripada pengajaran, dalam arti sebagai konsep ideal (sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah sistem pendidikan dapat berjalan tanpa pengajaran. Intinya, seperti yang diungkapkan dosen penguji dalam sidang skripsi saya, pengajaran membuat seseorang menjadi pintar, sedangkan pendidikan membuat seseorang menjadi benar. Ini karena pengajaran hanya mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, sedangkan pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga disertai dengan penekanan agar murid mengaplikasikan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak bertentangan dengan norma.
Dalam mendidik, tentu setiap guru memiliki cara dan metodenya sendiri, yang tujuan utamanya adalah agar ilmu pengetahuan yang di transfer dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh semua anak didiknya. Karena itu, dalam menggunakan metode harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak didik. Contoh kecilnya adalah, seorang pendidik yang mengajar di tempat yang terpencil dimana sarana dan prasarana yang ada kurang memadai, tentu media yang digunakan dalam mengajarpun terbatas, sehingga dibutuhkan metode yang menarik minat siswa dalam pelajaran, untuk pelajaran Ilmu pengetahuan alam, misalnya, guru dapat langsung menggunakan segala yang terdapat di alam sekitar yang sesuai dengan materi yang disampaikan sebagai media atau alat bantu. Tentu dibutuhkan kreatifitas dan keahlian guru dalam mengatasi masalah seperti diatas.
Begitu besar dan beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh seorang guru dalam mendidik dan mencerdaskan anak didiknya, sehingga seringkali karena beban tersebut guru melakukan segala cara yang memungkinkan diterimanya ilmu yang diajarkannya dengan baik oleh anak didiknya, walaupun seringkali cara-cara yang dilakukan guru tersebut kurang tepat, bahkan bertentangan dengan kaidah paedagogie itu sendiri. Akan tetapi, dikarenakan setiap kemampuan anak didik tidak sama, menyebabkan timbulnya problem tersendiri bagi seorang guru dalam mendidik siswa. Sehingga terkadang sebagai manusia biasa, guru merasa putus asa dan kehilangan kesabaran hingga timbul aksi kekerasan terhadap siswa, baik kekerasan secara verbal, maupun secara fisik. Pada dasarnya, aksi kekerasan guru terhadap murid tidak terlepas dari bentuk pendidikan yang ingin dicapai oleh guru itu sendiri. Akibat kemampuan siswa dalam menangkap pelajaran yang beragam, ada yang cepat tangkap alias cerdas, ada juga yang lambat dalam menerima pelajaran (ini bisa diakibatkan oleh tingkat kecerdasan siswa yang memang rata-rata bahkan rendah, atau karena perilaku siswa dalam kelas yang menyimpang, seperti tidak memperhatikan saat guru menerangkan pelajaran), Acapkali guru beranggapan dan berharap bahwa ketika dengan cara biasa siswa tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik, mungkin dengan cara yang tegas, agak keras bahkan keras diharapkan oleh guru bahwa siswanya akan menunjukkan suatu perubahan sikap (perilaku) maupun hasil belajar (prestasi) yang lebih baik. Dari sini kita dapati bahwa seringkali bentuk kekerasan guru terhadap siswa adalah sebagai bentuk usaha terakhir guru, dalam menyampaikan pendidikan. Walaupun dalam bentuk dan situasi yang bagaimanapun, suatu bentuk kekerasan guru terhadap siswa itu bertentangan dengan kaidah pendidikan modern itu sendiri, terutama berkaitan dengan pertimbangan kejiwaan (psikologis) anak didik. Walaupun hampir seluruh guru menyadari hal ini, akan tetapi keadaan dilapangan, ditambah mungkin kondisi psikologis dari guru itu sendiri menyebabkan hilangnya control diri (self control) yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru hingga menimbulkan tindak kekerasan terhadap siswa.
Berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa seperti yang terungkap di berbagai media baru-baru ini, sebenarnya menunjukkan tidak adanya sinergitas yang baik antara orang tua siswa (wali murid) dengan guru. Seringkali dalam setiap tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, guru tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan. Orang tua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak juga memegang peran yang sangat penting dalam pendidikan anak, terutama sebagai penunjang prestasi belajar dan sebagai tauladan dalam bertingkah laku (pendidikan moral dan akhlak), memang ada pepatah yang mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa guru disini adalah bukan melulu pendidik dilingkungan pendidikan formal (sekolah) melainkan juga guru pertama dan utama dalam pendidikan dan perkembangan kepribadian anak dilingkungan keluarga yaitu orang tua. Orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, tempat dimana anak belajar tentang segala hal yang baru dia ketahui dalam hidupnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebelum mengenal lingkungan luar yang lebih luas semacam sekolah, anak terlebih dulu hidup dan berinteraksi dilingkungan yang lebih sempit yaitu komunitas keluarga, terutama dalam hal ini orang tua.
Pengalaman saya dalam mendidik anak mulai dari tingkat usia pra sekolah (TK usia 3-5 tahun ), juga usia sekolah dasar (SD usia 6-12 tahun) dimana pada masa-masa ini perkembangan kepribadian dan kecerdasan intelektual sedang terbentuk, menunjukkan bahwa orang tua memegang peranan yang sangat amat penting. Walau bagaimanapun saya berusaha mengajarkan kepada mereka tentang akhlak dan tatakrama, juga disiplin dalam belajar dan ibadah, namun tetap saja saya sebagai guru memiliki keterbatasan waktu dan tempat (kesempatan) bersama mereka. Sebenarnya, pengajaran dan pendidikan dari orang tualah yang paling berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Karena orang tua adalah teladan bagi anak-anaknya. Sebelum anak-anak mengidolakan dan meniru tingkah laku orang lain, terlebih dahulu, anak-anak mengidolakan dan meniru tingkah laku orang tua mereka. Jadi, ketika saya mengajarkan kepada mereka tentang sikap yang lemah lembut dan penuh kasih, ajaran saya akan langsung menguap begitu mereka menyaksikan orang tuanya bersikap keras dan berkata –kata kasar terhadap orang lain.
Tak peduli seberapa kerasnya saya mengajarkan kebaikan dan akhlakul karimah pada anak didik saya, hal itu tidak akan pernah mereka amalkan dalam perilaku mereka selagi hal itu tidak mereka dapati dari orang tua mereka. Hingga akhirnya, seringkali saya kehabisan kesabaran dan mulai menerapkan cara yang agak keras seperti ancaman, hukuman mulai dari non fisik (berdiri dengan satu kaki selama 10 menit, atau system pengurangan medali/poin) dan fisik (seperti memukul kaki/ betis mereka dengan hanger). Tetap saja hal yang saya lakukan sia-sia, karena mereka tidak mendapatkan pengajaran yang sama dari orang tua mereka. Karena itu, ketika mendapati pendidik yang memberikan hukuman fisik pada anak didiknya (yang dalam bahasa orang tua disebut kekerasan ), saya teringat pada pengalaman saya pribadi, sehingga saya tidak sepenuhnya menyalahkan guru tersebut. Akan tetapi, sebagai pendidik, saya juga tidak dapat membenarkan adanya tindak kekerasan verbal yang dilakukan guru (seperti menghina siswa, menghardik dan membentak dengan kata-kata kasar) maupun hukuman fisik yang berlebihan yang dilakukan oleh guru seperti menempeleng siswa, menjitak bagian kepala, menendang, menjewer telinga atau mencubit sampai berdarah. Karena hukuman fisik yang diperkenankan menurut saya pribadi sebatas pada fisik bagian bawah (betis) dan itupun tentu ada batasannya dan kalau memang kesalahan sudah tidak bisa di tolerir, jangan sampai hukuman itu adalah hukuman yang menyakitkan, karena apapun bentuknya, hukuman fisik sejatinya tidak akan membantu siswa menjadi lebih baik, selain tidak diperbolehkan dalam dunia pendidikan. Walaupun dalam pendidikan islam sendiri juga dikenal adanya hukuman fisik dalam mendidik disiplin beragama sebagaima sabda rasulullah saw, “didiklah anak-anakmu untuk (disiplin) mengerjakan sholat sejak usia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila tidak mendirikan sholat setelah berusia sepuluh tahun”. Walaupun ada hukuman fisik dalam hadis tersebut, tentu maksudnya adalah suatu bentuk pembelajaran, dan bukan hukuman yang sengaja untuk menyakiti melainkan untuk menanamkan kedisiplinan dan menimbulkan efek jera pada anak.
Sekedar berbagi cerita, saya memiliki anak didik berusia 4 tahun yang kegirangan bila saya hukum dia dengan berdiri pada satu kaki. Biasanya, sebelum mulai sholat berjamaah, saya akan katakan pada mereka semua, kalau ada yang bercanda saat sholat, tak peduli siapapun, nanti akan dihukum disuruh berdiri dengan satu kaki, begitu saya Tanya apa mereka setuju dengan perkataan saya, mereka serempak menjawab setuju. Dan ketika mulai sholat, pada saat semua berucap amiin begitu imam selesai membaca surah al-fatihah, murid saya yang berusia 4 tahun tadi tiba-tiba tertawa, sehingga beberapa murid yang lain ikut tertawa. Saya diamkan saja sampai semua selesai sholat. Begitu selesai sholat dan berdoa, saya katakan pada semuanya, apa boleh sholat sambil tertawa? Dan serempak penuh semangat mereka menjawab tidak boleh. Lalu saya ingatkan kesepakatan yang kami buat bersama sebelum sholat tadi sambil berkata bahwa yang merasa tadi sholat sambil tertawa silahkan berdiri dengan satu kaki sesuai kesepakatan. Dan tanpa dikomando dua kali, para murid saya yang merasa bersalah tadi langsung maju. Namun, berbeda dengan murid usia SD saya yang maju dengan rasa bersalah murid saya yang berusia 4 tahun tadi langsung ke depan dan dengan penuh suka cita dan wajah ceria berdiri mengangkat satu kakinya sambil kedua tangannya memegang daun telinga..sebenarnya, saya ingin tertawa melihatnya, tetapi sebagai pendidik, saya harus menjaga kredibilitas saya agar mereka tidak menganggap saya sedang bercanda dan tidak serius terhadap hukuman yang saya berikan. Yang lebih lucu lagi, ternyata begitu sampai dirumahnya, murid saya tadi dengan penuh semangat dan mimic ceria menceritakan pengalamannya dihukum tadi sambil mempraktekkannya di depan sang bunda, kontan saja, melihat ekspresi buah hati kecilnya itu sang bunda tertawa dan menceritakannya pada saya. Ah, memang tidak mudah menjadi seorang guru atau pendidik, karena dipundak para pendidiklah, masa depan dan moralitas generasi penerus bangsa ini dipertaruhkan. Karena itu hendaklah kita, para orang tua dan juga para guru semua bersinergi dan bersatu padu dalam mendidik dan membimbing para generasi penerus bangsa ini agar menjadi generasi yang cerdas spiritual, emosional maupun cerdas intelektual (insan kamil).

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008