Rabu, 03 Desember 2008

PERANAN WANITA DALAM MASYARAKAT

By: Raudhah El Jannah Ulhaque S.Pd.I

Pada zaman sekarang ini, kalau kita amati, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, hampir tidak ada lagi pekerjaan pria yang tidak bisa dikerjakan oleh wanita. Kalau zaman dahulu beberapa pekerjaan dianggap tabu untuk dikerjakan oleh wanita karena alasan lemah fisik dan mental dan dinilai tidak sesuai atau menyalahi kodratnya, pada zaman sekarang ini, anggapan tersebut tidak berlaku lagi karena ternyata sekarang wanita mampu mengerjakannya sebaik kaum pria.

Di Negara seperti Indonesia ini, yang mana ± 53 % penduduknya adalah wanita, potensi wanita sebagai salah satu unsur penunjang pembangunan nasional tidak disangsikan lagi. Karena itu, apabila potensi yang besar ini tidak di dorong dan dimanfaatkan dengan baik dalam pembangunan nasional, maka bangsa dan Negara akan mengalami kelambanan dan kemunduran di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, peran dan keterlibatan wanita dalam segala bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan di luar rumah, seringkali masih mendapat banyak mendapat hambatan dan tantangan dari berbagai pihak baik dengan dalih agama dari golongan konservatif, maupun dari factor budaya masyarakat sendiri. Menurut golongan kaum konservatif, peran wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami, tidak boleh terjun di dunia politik apalagi menjadi hakim dan Top Leader (kepala Negara atau Perdana Menteri), karena hal itu adalah tugas kaum laki-laki.

Pandangan ini bertentangan dengan ajaran islam, karena islam sendiri tidak menghalangi wanita untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru/dosen, dokter, pengusaha, menteri, hakim dan lain-lain, bahkan bila ia mampu dan sanggup, boleh menjadi perdana menteri atau kepala Negara, asal dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh islam. Misalnya, tidak terbengkalai urusan dan tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya bila ia seorang yang telah bersuami dan juga tidak mendatangkan hal yang negative terhadap diri dan agamanya.

Akan tetapi dalam hal tentang boleh tidaknya wanita menjadi hakim dan kepala Negara (top leader), para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader berdasarkan ayat Al-qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 dan hadis Abi Bakrah yang di riwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i, dan Turmudzi bahwa Rasulullah saw bersabda:

Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita.[1]

Dan surat an-nisa’ ayat 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ﴿٣٤﴾

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S.An-Nisa’/4:34)

Menurut Jawad Mughniyah dalam Tafsir Al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34 surah an-Nisa’ itu bukanlah menciptakan perbedaan yang dianggap wanita itu rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi keduanya adalah sama, dengan alasan ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai isteri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satupun bisa hidup tanpa yang lain.bagaikan dua sisi mata uang, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami saja, memimpin isterinya. Bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang dictator.[2]

Kebolehan wanita untuk menjadi top leader ini ditopang oleh Al-qur’an surah at-Taubah ayat 71:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ﴿٧١﴾

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.”

Dalam ayat tersebut, Allah swt mempergunakan kata auliya’ (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak pria saja, tetapi keduanya (pria dan wanita) secara bersamaan. Berdasarkan ini, wanita juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi criteria sebagai seorang yang akan menjadi pimpinan tertinggi, karena menurut tafsir al-maraghi dan tafsir al-manar bahwa kata auliya’ tersebut dengan tafsiran yang mencakup: wali penolong, wali kasih sayang.

Selanjutnya mengenai hadis abi bakrah yang mengatakan tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pimpinan mereka seorang wanita, menurut fatimah mernissi dalam bukunya setara dihadapan Allah, perlu dipertanyakan: apa yang mendorong abi bakrah berpuluh-puluh tahun setelah kalimat itu diucapkan nabi saw, untuk menggali kembali hadis ini dari relung ingatannya? Apakah ia mempunyai kepentingan pribadi yang harus dikemukakan atau semata-mata sebagai kenangan spiritual terhadap Nabi? Jelas Abi Bakrah mempergunakan hadis ini untuk mencari muka pada pihak yang berkuasa. Selanjutnya marilah kita teliti lebih dalam lagi sejarah perang unta yang menjadikan sikap opurtunis Abi Bakrah ini lebih nyata lagi. Pada waktu itu banyak sahabat yang tidak ikut serta dalam peperangan antara Ali Bin Abi Thalib dengan ummul mukminin Aisyah. Alasannya adalah bahwa perang saudara hanya akan memecah belah umat dan menjadikan mereka saling bermusuhan. Meskipun mereka sama-sama mempertahankan diri di atas prinsip yang diajarkan nabi Muhammad saw. Untuk tidak ikut serta dalam suatu pertikaian yang menyebabkan perpecahan di antara kelompok masyarakat, hanya Abi Bakrah yang menjadikan jenis kelamin sebagai salah satu alasan penolakannya untuk tidak ikut serta dalam peperangan tersebut. Sesudah kalahnya Aisyah.

Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa hadis Abi Bakrah tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara islam (khalifah) hakim. Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader (presiden dan perdana menteri). Menurut jumhur ulama’ tidak boleh wanita menduduki jabatan tersebut. Abu hanifah membolehkan hakim wanita dalam masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat. Sementara Muhammad bin jarir al-thabary membolehkan wanita menjadi hakim secara mutlak termasuk dalam urusan jinayat. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm dari aliran al-Zhahiriyah.



[1] Al-suyuthi, Al-Jami’ Al-Shaghir, jilid II, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t.th., cet.IV, h.128.

[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir Al-Kasyif, juz II, Bairut, Dar Ilmi Li Al-Malayin, cet.I, 1968, masyarakat, h. 314

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008