Senin, 20 Oktober 2008

BAWEAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN (1)

By: Raudhah El Jannah Raheem Ulhaque S.Pd.I

Bawean Dan Problematika Pendidikan Anak Dalam Keluarga

Pendidikan merupakan pintu gerbang menuju kemajuan dalam pembangunan di segala bidang kehidupan, baik menyangkut pembangunan kehidupan fisik maupun non fisik. Karena itu, apabila kita mengharapkan adanya kemajuan dan pencerahan pemikiran (rausyan al fikr) bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, maka sebagai langkah awalnya adalah kita harus mengadakan perbaikan system pendidikan agar system pendidikan kita dapat mencetak output-output yang siap menghadapi tantangan dunia global dengan segala dampaknya dan juga siap melakukan perubahan menuju masyarakat yang tercerahkan.

Bawean, sebagai pulau terpencil yang berjarak sekitar 80 mil di sebelah utara pulau Jawa, merupakan pulau yang memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM) yang patut di perhitungkan, akan tetapi karena adanya berbagai masalah seperti kurangnya sarana dan prasarana, serta terbatasnya lapangan kerja, dan berbagai masalah lain yang di hadapi Bawean sebagai pulau terpencil, menyebabkan berbagai potensi yang di miliki pulau Bawean tidak ter explore dan hanya terpendam begitu saja tanpa muncul kepermukaan. Hal ini sangat disayangkan, karena kita tidak pernah tau seberapa besar potensi pulau Bawean itu seandainya teraktualisasi.

Salah satu problematika pulau bawean adalah problematika dunia pendidikan. Dan problem pendidikan di pulau bawean yang sangat memprihatinkan adalah masalah pendidikan anak, terutama pendidikan anak dalam keluarga. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar penduduk pulau bawean adalah perantau. Mereka meninggalkan keluarga untuk bekerja di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Umumnya yang kita dapati, para orang tua meninggalkan anak-anak mereka untuk di asuh oleh nenek-kakek mereka ataupun keluarga terdekat, atau kalau hanya ayahnya yang pergi merantau, maka anak itu akan di asuh seorang diri oleh sang ibu. Hal ini menyebabkan disfungsi dalam keluarga. Karena anak tidak memperoleh gambaran lengkap tentang sosok orang tuanya. Tentu hal ini menyebabkan gangguan psikologis dan menghambat pembentukan kepribadian anak.

Keluarga, memiliki nilai penting dalam pembentukan kepribadian anak dan dalam menciptakan kondisi psikologis ( kejiwaan )yang sehat bagi anak. Karena keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang di butuhkan oleh putra-putri yang tengah mencari makna kehidupannya. Di tengah-tengah keluarga lah seorang anak banyak menghabiskan sebagian besar waktunya selain di sekolah atau di luar rumah. Keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya dan mediator sosial budaya bagi anak. Menurut UU No.2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4:”…keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan…”. Berdasarkan pendapat dan dictum Undang-Undang tersebut, maka fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan, atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Ketika fungsi keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka sangat sulit bagi seorang anak untuk dapat berhasil dalam mengolah seluruh bakat dan kemampuannya agar terasah dan terbina sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk pertama kalinya pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak langsung akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat besok kelak untuk mengarungi kehidupan yang lebih global bila dibandingkan waktu awal ada di dalam kandungan yang hidup dalam lingkungan yang sempit.

Akan halnya di bawean, pendidikan anak dalam keluarga kurang mendapat perhatian dari para orang tua. Hal ini di sebabkan karena kebanyakan keluarga di Bawean tidak menjalankan fungsinya secara normal, sehingga anak-anak mengalami ambiguitas dalam menanamkan citra orang tua dalam benak mereka. Padahal, peranan orang tua dalam pembentukan kepribadian anak sangat penting. Mengingat, dari orang tualah untuk pertama kalinya seorang anak belajar bagaimana bertingkah laku. Problematika ini terjadi di karenakan kurangnya pengetahuan para orang tua tentang bagaimana teori yang baik tentang pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga. Baik cara pengasuhan dan pendidikan anak menurut agama, ilmu psikologi, maupun menurut teori-teori pendidikan dari para ahli di bidangnya.

Sesungguhnya, mayoritas masyarakat bawean mendidik anak dengan mengandalkan pengalaman tanpa di dasari teori yang mendukung. Sehingga kita seringkali mendapati bahwa masih banyak orang tua masih menggunakan hukuman dalam bentuk kekerasan dalam mendidik anak. Seperti memukul, memarahi dengan suara keras (membentak), berkata kasar pada anak dan juga mengancam. Padahal, menurut ilmu psikologi, menghukum dengan kekerasan tidak membuat anak jera, dan mengerti dimana letak kesalahannya, bahkan sebaliknya, kekerasan membuat anak menjadi pribadi pendendam, merasa tidak dihargai, dan muncul ketidakpuasan dalam dirinya akibat perlakuan kasar orang tua terhadapnya. Hal ini membuat anak tumbuh dengan tekanan psikologis dan membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang menyimpang. Juga penyampaian ungkapan rasa kasih sayang orang tua yang seringkali caranya kurang tepat. Seperti terlalu memanjakan anak dengan menuruti segala kemauan anak. Menurut hemat saya, dengan pengalaman saja tidak cukup bijak dalam mendidik anak. Karena anak kita bukanlah robot yang bisa kita control semau kita, dan selalu menuruti kemauan kita sebagai orang tua. Anak-anak adalah pribadi bebas yang memiliki dunianya sendiri, mereka juga memiliki keinginan, kehendak, pendapat, kemauan dan alasan terhadap apa yang mereka lakukan yang juga perlu kita dengarkan. Mereka juga butuh penghargaan, butuh di hargai, diakui dan juga punya harga diri.

Sebagaimana apa yang di ucapkan oleh seorang kahlil gibran, seorang penyair ternama sepanjang masa bahwa “anak-anak kita bukanlah putera-puteri kita, mereka putera dan puteri kehidupan, kita mungkin bisa memberi rumah pada tubuh mereka, tapi tidak pada jiwa mereka. Karena jiwa mereka hidup di rumah tersendiri, yang tidak bisa kita kunjungi, bahkan juga di dalam mimpi…”

Anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Anak adalah tanggung jawab orang tua. Bagaimana dan akan seperti apa anak kita nantinya bergantung bagaimana kita orang tua mendidiknya. Karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Nabi saw.:

عن ابي هريرة رضي الله عنه قا ل: قا ل رسول ا لله صلي الله عليه و سلم:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ َ )رواه البخارى(

“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya dan kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia sebagai yahudi, nasrani atau majusi.”(HR. Bukhori)

Dalam ilmu pendidikan, makna kata fitrah dalam hadis diatas tidak lain adalah bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi masing-masing. Baik itu potensi beragama (religion), potensi kecerdasan (intellectual), potensi keterampilan (skill) ataupun potensi lain yang dimiliki anak. Akan tetapi potensi tersebut masih terpendam. Belum teraktualisasi. Tugas orang tualah untuk membimbing dan mengarahkan anak agar dapat mengaktualkan potensi yang dimilikinya secara tepat. Untuk potensi beragama misalnya, orang tua perlu mengetahui bahwa setiap anak secara fitrah memiliki naluri untuk beragama dan kebutuhan terhadap agama. Anak-anak memiliki kecenderungan terhadap hal-hal yang baik sebelum lingkungannya mempengaruhinya untuk melakukan hal-hal yang buruk. Karena kebaikan itu sesuai dengan fitrahnya. Sehingga orang tua memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa pendidikan agama sebagai dasar pendidikan anak dalam hidupnya perlu di ajarkan dan di tanamkan pada anak sedini mungkin, bukan menunggu sampai anak memasuki usia sekolah.

Apabila memperhatikan mayoritas anak-anak bawean yang sedang dalam masa perkembangan dan pembentukan kepribadian tetapi tidak memperoleh pengarahan dan bimbingan yang tepat dari orang tuanya, membuat saya merasa miris dan berpikir, akan seperti apa nantinya anak-anak yang memiliki potensi dan juga kecerdasan yang masih terpendam itu??

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008