Minggu, 12 Oktober 2008

ELEGI RUU PORNOGRAFI: Antara Moral dan Benturan Kepentingan

By: Raudhah El Jannah Raheem S.Pd.I

Berlarut-larutnya penundaan pengesahan RUU pornografi yang dahulu di sebut RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi) mengecewakan masyarakat yang mempunyai niat baik demi kepentingan bangsa dan juga membahagiakan sebagian orang yang memiliki kepentingan pribadi terhadap di batalkannya RUU tersebut. RUU yang semula di rencanakan selesai di bahas pada 23 september lalu, mengalami penundaan hingga waktu yang tidak di tentukan, walaupun mereka para pansus dan panja di DPR RI yang membahas RUU tersebut mengatakan akan merampungkannya pada 14 November mendatang. Akan tetapi siapa yang dapat menjamin RUU tersebut akan selesai tepat pada 14 November mendatang? Karena pengalaman membuktikan bahwa para wakil rakyat tersebut tidak dapat mengambil keputusan dikarenakan banyaknya benturan kepentingan yang membuat mereka tidak berani mengambil keputusan tegas terhadap RUU yang saat itu masih bernama RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi), hingga kini setelah melewati waktu yang cukup panjang, bahkan hingga RUU tersebut berganti nama menjadi RUU pornografi (RUUP) pun, para wakil rakyat itu tetap belum juga memberi kepastian kapan RUU tersebut akan di sahkan menjadi UU.

Mereka menunda pengesahan RUU pornografi dengan alasan masih banyaknya pihak yang pro dan kontra terhadap pasal-pasal krusial yang terdapat dalam RUU tersebut. Padahal sesungguhnya, pro kontra dalam penetapan suatu hukum dan UU adalah hal yang wajar, karena setiap orang memiliki pendapat dan kepentingan masing-masing dan juga mengeluarkan pendapat selama tidak dilakukan dengan cara yang melanggar hukum adalah hak setiap warga Negara yang hidup di Negara demokrasi ini, akan tetapi, seyogyanya pemerintah lebih memperhatikan kemaslahatan umum dan terpeliharanya moralitas Bangsa, bukankah kenaikan BBM juga mengundang pro dan kontra serta reaksi keras dari masyarakat?? Tetapi kenapa pemerintah dapat dengan tegas bahkan tanpa memperhatikan pendapat masyarakat lagi memutuskan hal itu.

Apabila kita perhatikan, sesungguhnya penolakan terhadap RUU pornografi datang dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan pornografi itu sendiri baik itu sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi, sutradara dan produser pembuat film yang menjual kedua hal tersebut yang hanya memperhitungkan budget dan tak lagi peduli terhadap idealisme, para pemilik dan penerbit majalah ataupun VCD porno, para pemasar (distributor) ataupun para penikmat (konsumen) pornografi dan pornoaksi itu sendiri, juga para gay dan lesbi yang terkait dengan salah satu pasal dalam RUU pornografi, ataupun daerah yang merasa eksistensinya terancam dengan disahkannya RUU tersebut. Sedangkan dorongan untuk segera disahkannya RUU pornografi datang dari elemen masyarakat yang peduli dengan moralitas bangsa dan telah merasa gerah dengan dampak negatif dari semakin maraknya pornografi dan pornoaksi yang dapat mengancam generasi penerus bangsa ini, seperti KAMMI, PAMMI, NU, dan lain sebagainya.

Bali dan Papua, adalah dua daerah yang dengan keras menolak disahkannya RUU pornografi. Mereka beralasan bahwa disahkannya RUU pornografi (RUUP) dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia yang majemuk ini. Sebenarnya, apabila kita telaah dengan baik, penolakan masyarakat Bali terhadap RUU pornografi lebih dikarenakan faktor ekonomi (motif bisnis), dimana RUU pornografi menurut pandangan mereka dapat mengancam sumber mata pencaharian mereka. Sebagaimana kita ketahui, Bali sebagai daerah tujuan wisata baik turis lokal maupun mancanegara, memang sangat dekat dengan praktek pornografi dan pornoaksi. Serta ada sebagian tradisi dan kebudayaan mereka yang mereka anggap terancam dengan adanya RUUP tersebut. Begitu halnya dengan masyarakat Papua, mereka menganggap bahwa disahkannya RUUP ini akan mengancam keberadaan pakaian adat mereka. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Papua, memakai pakaian adat yang di sebut koteka, yaitu pakaian yang terbuat dari dedaunan dan akar-akar pohon yang hanya menutupi bagian vital mereka.

Sesungguhnya, penolakan masyarakat terhadap RUUP ini lebih dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap RUUP tersebut, sehingga masyarakat tidak banyak mengetahui isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP tersebut. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang menolak RUU tersebut karena menganggap bahwa RUUP ini dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) bangsa, serta mengancam kelangsungan tradisi dan budaya masyarakat di beberapa daerah. Ini dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUUP ini. Seharusnya, apabila pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan koordinasi dengan tokoh agama serta para kepala adat di berbagai daerah, tentu penolakan tersebut tidak sampai terjadi seperti ini. Karena masyarakat akan mengetahui bahwa tentang tradisi, kebudayaan ataupun yang berhubungan dengan kesenian masyarakat di atur dalam pasal khusus (pasal 14) dalam RUUP ini, sehingga mereka tidak perlu takut akan adanya RUUP ini.

Penolakan terhadap RUUP ini juga datang dari kalangan aktifis perempuan dan anak yang menganggap bahwa RUUP ini melanggar HAM karena memasung kebebasan berekspresi dan juga kreatifitas perempuan dan anak. Alasan mereka sungguh tidak dapat dibenarkan, karena dengan demikian, mereka menjadikan perempuan dan anak sebagai komoditi terbesar dalam lingkaran setan pornografi dan pornoaksi. Apakah kreatifitas dan kebebasan berekspresi harus dengan menonjolkan sensualitas dan mengedepankan seksualitas? Tentu tidak. Seseorang tetap bisa berekspresi dan berkreatifitas tanpa harus mengobral anggota tubuhnya apalagi sampai menjual dirinya. Sesungguhnya, adanya RUUP ini justeru melindungi kehormatan wanita dan anak-anak yang seringkali menjadi korban dari dampak negatif pornografi dan pornoaksi, sebagaimana kita ketahui, disadari atau tidak, bahwa wanitalah yang seringkali menjadi bahan ekspoitasi seksual. Baik itu melalui media cetak, ataupun media elektronik seperti iklan-iklan produk yang menjual sensualitas tubuh wanita walaupun terkadang iklan itu tidak ada hubungannya dengan wanita.

Memang, kebutuhan seksual dan pemenuhannya adalah sesuatu yang asasi bagi setiap manusia normal. Akan tetapi, bukan lantas hal itu menjadikan seseorang di benarkan untuk memuaskan nafsu seksual semaunya sampai tak lagi memperhatikan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Karena semua telah di atur dengan baik dalam hukum agama maupun hukum Negara. Demikian juga dengan penampilan dan kebebasan berekspresi, itu juga merupakan hak asasi setiap orang. Tetapi, tentu kita semua tahu bahwa hak harus di sertai dengan di tunaikannya kewajiban. Dengan begitu, akan tercipta tatanan sosial yang seimbang dalam masyarakat dan tidak akan terjadi ketimpangan sosial.

Walau bagaimanapun, RUU pornografi bukan hal yang negatif, RUUP ini tetap di butuhkan demi menjaga moralitas bangsa dengan adat ketimuran seperti Indonesia ini, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Meningkatnya kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan anak di bawah umur, kehamilan di luar nikah dan seks bebas merupakan dampak negatif dari maraknya pornografi dan pornoaksi yang semakin tak terkendali. Sebagai anggota masyarakat yang memiliki hati nurani, kita tidak bisa berpangku tangan menghadapi persoalan tersebut. Tentu harus ada tindakan nyata dan usaha bersama dari semua elemen masyarakat maupun pemerintah, untuk dapat menyelamatkan moral generasi bangsa. Karena di tangan generasi penerus bangsa lah masa depan bangsa ini di tentukan. (Bawean, 03 Oktober 2008)

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008